YOGYAKARTA MASIH KUSUT PEMBAGIAN KEWENANGAN BERBAGAI SEKTOR

SAPA INDONESIA – PEMERINTAH DI Yogyakarta atau DIY mengaku cukup khawatir dengan penerapan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sampai sekarang belum sepenuhnya bisa tuntas untuk diaplikasikan dalam membagi urusan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten / kota.

“Salah satu contoh (pembagian kewenangan yang belum tuntas) sampai sekrang itu pengelolaan drainase,” ujar Penjabat Sekretaris Daerah Istimewa Yogyakarta Rani Sjamsinarsi, dalam pembahasan kawasan startegis dengan DPRD DIY, akhir pakan lalu.

Padahal, ujar Rani, drainase tersebut infrastrukturnya sudah jadi terbangun. Namun pembagian kewenangan soal pemeliharaan infrastruktur itu jika sewaktu waktu terjadi masalah belum bisa dituntaskan. PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Rani pun mencontohkan, misalnya dalam pengelolaan infrastuktur cukup vital seperti Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Sewon Kabupaten Bantul Yogyakarta. Jika sebelum UU 23 2014 ada, penanganan Ipal Sewon tinggal diserahkan pemerintah daerah saat terjadi persoalan.

Namun sejak UU 23 2014 lahir, pengelolaannya menjadi tak jelas, siapa menangani apa. Karena dalam Ipal Sewon ini mencakup saluran induk (seharusnya ditangani pemerintah pusat melalui Balai Konservasi Sumber Daya Air), saluran sekunder (pemerintah provinsi), dan saluran tersier (pemerintah kabupaten). PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Ipal Sewon sendiri merupakan instalasi pengelolaaan limbah terpusat DIY yang mulai beroperasi awal 1996 silam. Sistem IPAL ini menjangkau dengan hampir 20 ribu sambungan yang terdiri atas sambungan rumah tangga dan sambungan non rumah tangga. Wilayah pelayanan IPAL Sewon meliputi Kota Yogyakarta hingga Kabupaten Bantul.

“Karena pembagian kewenangan ini belum selesai, kami khawatir kalau suatu saat terjadi banjir itu kami yakin karena persoalan penanganan tidak optimal, karena semua hands up,” ujar Rani. PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Rani menuturkan, belum tuntasnya pembagian kewenangan dalam persoalan pengelolaan drainase ini pun bisa merembet pada penanganan bidang pengentasan kemiskinan sesuai bidang yang diatur UU 23 tahun 2014.

Misalnya cakupan rumah tangga di pemukiman yang mendapat pasokan air. Sebab dalam UU 23 mengatur, jika urusan pemukiman untuk pemukiman dengan unit rumah 50-1000 kewenangan di kabupaten / kota dan 1000-3000 ditangani pemerintah DIY.

Untuk mengatasi belum jelasnya kewenangan sesuai Pemerintah DIY pun memprioritaskan penyelesaian Raperda Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) DIY.

Anggota Komisi C DRPD DIY Suharwanta menuturkan, urusan pembagian kewenangan dalam penanggulangan kemiskinan di DIY memang perlu segera dibuat dalam sebuah peta utuh wilayah yang kemudian dicantumkan dalam raperda seperti RP3KP DIY.

“Dari peta itu didetilkan berdasarkan desa dan jumlah pemukiman sehingga bisa diketahui jelas mana kewenangan provinsi , mana kabupaten, peta ini mendesak agar segera ada ketentuan jelas aturan penanggulangan,” ujarnya.

Awal Maret 2017 ini, Pemerintah dan DPRD DIY pun bersepekata menyusun peta penanggulangan kemiskinan itu untuk segera dimasukkan dalam materi raperda baru. Dengan harapan tahun 2018 penanggulangan kemiskinan sudah berjalan lebih efektif dan menekan angka kemiskinan di DIY yang masih 13 persen.

Sumber: Tempo dot co
                 PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *