RESOLUSI IMPLEMENTASI DANA DESA 2017

SAPA INDONESIA – “KORUPSI dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol dan partisipasi yang lemah masyarakat desa.”

Pemerintah Pusat berencana menaikkan volume dana transfer ke desa atau dikenal sebagai dana desa menjadi Rp 60 triliun pada 2017. Dengan anggaran Rp 60 triliun bagi 74.000 desa seluruh Indonesia, tiap desa minimal akan mendapatkan jatah anggaran Rp 800 juta/ tahun. Hal itu akan menambah pos pendapatan APBDes yang diperkirakan Rp 1,5 miliar Rp 2 miliar.

Alokasi anggaran dana desa (DD) dari APBN 2016 sebesar Rp 46,7 triliun telah sukses berhasil memperkuat postur APBDes. APBDes untuk setiap desa di Jawa rata-rata memiliki pos pendapatan hampir Rp 1 miliar.

Mengingat selain memperoleh dana desa dari Pemerintah Pusat, desa juga mendapat kucuran dana transfer daerah dari persentase dana alokasi umum minimal 10% dikurangi beban belanja pegawai. Rata-rata desa di Jawa Tengah pos pendapatan dana transfer daerah atau yang dikenal Alokasi Dana Desa ADD) minimal Rp 400 juta/desa.

Belum lagi dari pendapatan asli desa dan pendapatan bagi hasil pajak-retribusi daerah untuk desa yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pertanyaannya?

Efektifkah dan tepat ke programankah penggunaan dana desa dan alokasi dana desa bagi pelaksanaan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan? Sepanjang 2016 harus diakui penggunaan dana desa dan alokasi dana desa baru efektif untuk mendanai program pembangunan fisik yang dirumuskan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).

Program pembangunan desa menjadi orientasi pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa. Efek surat edaran Menteri Desa dan PDTT 2015 yang mendorong optimalisasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur desa masih dijadikan acuan dalam pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa untuk Tahun Anggaran 2016. Bagi desa penggunaan dana desa atau alokasi dana desa untuk proyek pembangunan fisik lebih mudah dalam eksekusi dan pelaporan administrasi.

Proyek pembangunan fisik dipersepsikan lebih jelas tolok ukur capaian dan dimensi keberhasilannya. Sekaligus sebagai media untuk memperbaiki fasilitas infrastruktur desa yang tidak layak di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pertanian. Paham developmentalisme dalam pengelolaan dana desa atau alokasi dana desa lebih merasuki pengambil kebjakan anggaran di desa.

Desa diprioritaskan menjadi ruang untuk segala program pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat desa. Hal itu tidak salah tapi belum sepenuhnya tepat dalam filosofi penganggaran desa. Sesuai dengan mandat UU Nomor 6 Tahun 2014, program transfer fiskal dari Pemerintah Pusat, dana desa digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat demi kesejahteraan sosial, ekonomi, selain pembangunan dan pembiayaan operasional pemerintah desa.

Kepentingan Birokrasi

Sayang penggunaan dana desa atau alokasi dana desa lebih berat pada kepentingan birokrasi pemerintahan desa, kewajiban penyerapan anggaran dana desa atau alokasi dana desa 30 % untuk belanja operasional pemerintah desa lebih diprioritaskan.

Demikian dengan anggaran untuk pembangunan fisik yang eksekutornya adalah pelaksana kegiatan yang keanggotannya juga terdiri atas aparatur desa. Namun, inovasi program dalam skema pemberdayaan masyarakat serta penanggulangan kemiskinan masih belum optimal.

Paradoks pengelolaan dana desa selama 2016 adalah partisipasi masyarakat yang minim dari mulai tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Sesuai dengan kaidah aturan dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, peran masyarakat sebatas pada usulan kegiatan dan anggaran dalam forum musyawarah pembangunan desa. Namun, dalam tahap krusial yakni penyusunan RPJMdesa, RKPdesa dan yang utama RAPBDes masyarakat desa kurang mendapatkan ruang untuk berpartisipasi.

Tim penyusun RPJMDesa, RKPDes, dan RAPBDes adalah aparatur pemerintah desa dan elite desa yang terpresentasikan dari keterwakilan LPM dan BPD. Sangat jauh dari konsep partisipasi keprograman di dalam PNPM Mandiri Perdesaan, pada 2007-2014 saat partisipasi masyarakat mendapatkan ruang optimal dalam tahapan musyawarah desa perencanaan, musyawarah desa sosialisasi, musyawarah desa penetapan sampai musyawarah desa pertanggungjawaban.
Partisipasi dan aspirasi masyarakat di dalam musyawarah desa yang menentukan dalam produksi kebijakan pembangunan desa.

Pada era UU Nomor 6 Tahun 2014, partisipasi dan aspirasi masyarakat desa yang diwadahi dalam musrenbang desa berkesan formalitas dan tidak menentukan dalam kebijakan program dan anggaran.

Pengelolaan dana desa 2016 juga penuh dengan masalah penyalahgunaan. Banyak kepala desa dan aparatur desa yang terkena perkara hukum tindak pidana korupsi dana desa atau alokasi dana desa sebagai akibat pengawasan yang lemah dari pemangku kepentingan di desa dan masyarakat desa.

Oleh: Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran Desa, alumnus FISIPUndip

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *