BUDAYA MISKIN ATAU KEMISKINAN AKIBAT KEBIJAKAN

SAPA – Indonesia  adalah merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki isu kemiskinan sebagai salah satu isu yang perlu dituntaskan. Menurut TNP2K (Tim Nasional Percepatan dan Penanggulangan Kemiskinan), pada 2010, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 13,33 persen dari total penduduk Indonesia, atau sekira 31,02 juta Jiwa penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Secara umum, angka kemiskinan Indonesia sejak 1998-2011 terus menurun. Penurunan tersebut tidak lepas upaya keras pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat. Walau dapat dikatakan belum maksimal, tren penurunan angka kemiskinan menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah telah memberikan efek positif bagi peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan hak-hak dasar.

Terdapat berbagai macam indikator kemiskinan yang dapat digunakan untuk mengukur angka kemiskinan. Indonesia menggunakan indikator kemiskinan yang terdiri atas kemampuan pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok yang dimaksud antara lain sandang, pangan, pemukiman, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, di Indonesia, ketika pendapatan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut maka seseorang tersebut dikatakan miskin.

Menurut Bradshaw (2006), sebelum dirumuskan strategi penanganan kemiskinan, perlu ditemukenali lebih dalam terjadinya kemiskinan. Penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama. Penyebab pertama adalah penyebab kemiskinan secara kultural atau budaya.

Penyebab kemiskinan secara kultural dapat ditemu kenali dari sifat individu, keluarga, dan lingkungan. Menurut Bradshaw (2006) kelemahan individu dan sistem budaya yang mendukung sub-kultur kemiskinan menjadi beberapa penyebab dari terjadinya kemiskinan.

Kelemahan individu tersebut diterjemahkan oleh Feagin (1972 dalam Lepianka, et al, 2009) sebagai kelemahan individu dalam bertanggungjawab atas dirinya sendiri, seperti kurangnya penghematan, kurang berusaha, tidak bermoral, dan kemalasan. Penyebab kedua adalah disebabkan oleh faktor struktural.

Menurut Bradshaw (2006), penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh diskriminasi sosial, ekonoi, dan politik, serta kesenjangan geografis. Bentuk diskriminasi dapat berupa ketidaksetaraan pendapatan, ketidaksetaraan gender, dan ras. Diskriminasi seperti ini dapat menyebabkan budaya kemiskinan.

Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, penyebab kemiskinan tidak hanya terdiri dari salah satu penyebab, melainkan kedua penyebab, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Kemiskinan di Indonesia terjadi akibat adanya budaya miskin yang terlihat seolah dipelihara oleh masyarakat, seperti kurang berusaha untuk mendapatkan pendapatan tambahan.

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia belum mampu membuat seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mengakibatkan penduduk miskin tidak mampu mengakses modal awal untuk melakukan usaha sampingan agar dapat pendapatan tambahan.

Selain itu, kemiskinan yang terdapat di Indonesia terdiri atas dua jenis. Pertama adalah kemiskinan di kawasan perkotaan. Kemiskinan kedua adalah kemiskinan di kawasan pedesaan. Kedua kemiskinan ini memiliki karakteristik yang berbeda dan memerlukan strategi pengentasan kemiskinan yang berbeda.

Kemiskinan di kawasan perkotaan merupakan kemiskinan yang terjadi di kota-kota yang ada di Indonesia. Penduduk miskin di kota pada umumnya terjebak dalam kondisi miskin akibat sulitnya bersaing dengan penduduk lain di kota. Sebagai contoh, suatu kelompok masyarakat A memiliki rata-rata tingkat pendidikan terakhir SMP dan SMA sedangkan kelompok masyarakat B memiliki rata-rata tingkat pendidikan terakhir SMA dan S-1.

Akibatnya, dalam pasar tenaga kerja, kelompok masyarakat B akan lebih memiliki nilai jual dan lebih mampu bersaing dibandingkan dengan kelompok masyarakat A sehingga kelompok masyarakat A tidak mampu bekerja dan tidak memiliki penghasilan yang lebih baik dari kelompok masyarakat B dan akan cenderung terperangkap dalam kondisi kemiskinan. Fenomena ini terjadi baik oleh penduduk asli kota yang tidak mampu bersaing dengan penduduk pendatang atau sebaliknya.

Kemiskinan di kawasan pedesaan merupakan kemiskinan yang terjadi di desa-desa yang ada di Indonesia. Penduduk miskin di desa pada umumnya terjebak dalam kondisi kemiskinan akibat tidak memilikinya modal, baik fisik maupun nonfisik, atau dengan kata lain tidak memiliki faktor produksi.

Sebagai contoh, petani-petani yang ada di desa-desa kebanyakan petani penggarap, terutama bagi petani di daerah pantai utara jawa. Dikarenakan hanya petani penggarap, para petani tersebut memiliki sistem pendapatan bagi hasil dengan pemilik lahan dan pada umumnya pendapatan yang didapat tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Petani penggarap juga pada umumnya tidak memiliki lahan sehingga tidak memiliki jaminan ketika akan meminjam modal ke bank. Dengan kata lain, kebijakan kredit UKM masih belum tersentuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, pada umumnya, penduduk di desa kurang memiliki keahlian khusus selain bertani.

Hal ini menyulitkan penduduk desa untuk memiliki keahlian lain sebagai modal untuk usaha. Fakta lain yang terdapat dalam kemiskinan di perdesaan adalah penduduk usia muda banyak yang merantau sehingga secara komposisi penduduk, penduduk miskin di desa pada umumnya penduduk dengan usia cenderung tua dan sudah tidak produktif.

Dalam usaha untuk mengurangi angka kemiskinan, tim nasional percepatan dan pengentasan kemiskinan Indonesia telah melakukan berbagai macam strategi pengentasan kemiskinan. Program kemiskinan telah dilaksanakan sejak 1998 hingga saat ini. Secara umum, program yang telah dilakukan mampu menurunkan angka kemiskinan Indonesia yang berjumlah 47,97 Juta pada 1999 menjadi 30,02 Juta pada 2011.

Adapun empat strategi dasar yang ditetapkan sebagai dasar pembuatan program pengentasan kemiskinan sebagai berikut :
1. Menyempurnakan program perlindungan sosial
2. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar
3. Pemberdayaan masyarakat
4. Pembangunan yang inklusif.

Namun apakah program-program pengentasan tersebut efektif dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia? Jika dilihat lebih dalam, program-program pengentasan kemiskinan yang ada hingga saat ini lebih menitikberatkan kepada output atau hasil yang terlihat jelas, yaitu penurunan angka kemiskinan yang diukur oleh beberapa indikator.

Padahal, kemiskinan yang terjadi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis kemiskinan utama dan memiliki karakteristik yang berbeda serta penyebab yang berbeda. Kemiskinan di perkotaan memiliki karakteristik dimana penduduk miskin tidak dapat bersaing dan kondisi ini didukung dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Akibatnya kemiskinan menjadi sebuah budaya yang dipelihara oleh masyarakat.

Untuk mengatasi kemiskinan seperti ini tentulah memerlukan sebuah proses yang cukup lama untuk mengubah budaya tersebut. Sedangkan kemiskinan di perdesaan memiliki karakteristik di mana penduduk miskin tidak memiliki modal dan kondisi ini tidak didukung dengan kebijakan ekonomi-sosial yang ada saat ini. Untuk kemiskinan seperti ini tentu memerlukan sebuah usaha lebih untuk membuat sebuah kebijakan yang lebih pro-poor.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, kemiskinan di Indonesia masih memerlukan sebuah program pengentasan kemiskinan yang lebih menitikberatkan kepada proses dan mengusahakan agar outcome pengentasan kemiskinan merupakan fokus dari program pengentasan kemiskinan sehingga tidak hanya melihat dari jumlah angka kemiskinan yang berkurang tetapi juga melihat bagaimana penduduk miskin tidak kembali menjadi miskin.

Nurrahman Putra Waluyo
Mahasiswa Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota
KK Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, SAPPK-ITB
kampus dot okezone dot com

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *