DESA ADAT JANGAN DIGANGGU – PENANGGULANGAN KEMISKINAN

SAPA – Desa adat atau yang sudah populer dengan sebutan Desa Pekraman jangan diganggu dengan urusan-urusan kenegaraan. Tak ada sangkut pautnya desa adat dengan tata kelola pemerintahan karena sejatinya desa adat dibentuk untuk urusan adat istiadat. Di dalam adat istiadat itu ada wilayah agama yang sakral. Desa adat mempunyai syarat yang prinsip, yakni sebuah kawasan yang diikat oleh adanya Pura Tri Kahyangan, yaitu Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Adalah Mpu Kuturan yang punya konsep ini.

Dulu desa adat itu otonom dan tersirat dari adanya awig-awig yang tak sama antara satu desa adat dengan desa adat yang lain. Awig-awig ini didasarkan pada dresta (kebiasaan yang diwarisi temurun). Belakangan ini pada saat ada upaya “penyeragaman” yang disertai dengan dalih “pembinaan” maka di atas pimpinan desa adat (bendesa) dibuat Majelis Alit di tingkat kecamatan. Lalu di tingkat kabupaten ada Majelis Madya dan di tingkat provinsi ada Majelis Utama. Cukuplah sampai di sini adanya “pembinaan” itu, jangan diganggu lagi dengan urusan lain.

Apa yang saya maksudkan dengan gangguan? Ada upaya agar desa adat didaftarkan untuk mendapatkan “status desa” menjelang diberlakukannya Undang Undang Tentang Pemerintahann Desa. Apalagi dalam UU Desa ini ada kucuran dana setiap tahun sebesar Rp1 milyar sampai Rp 1,4 milyar, seolah-olah desa adat ditarik untuk berebut uang itu. Mohon hal ini dikaji lebih jauh.

Dalam tata kelola pemerintahan, sudah ada “desa” dan di Bali agar membedakan dengan desa adat maka disebut “desa dinas”, padahal dalam administrasi tak ada kata “dinas” itu. Desa ini dipimpin Kepala Desa. Himpunan desa dikordinasikan oleh Camat, dan di atas camat ada Bupati, lalu Gubernur dan seterusnya presiden.

Struktur administrasi ini saja sudah berbeda dengan desa adat. Belum lagi batas wilayahnya. Desa dinas pasti berada di satu kecamatan dan tentunya di satu kabupaten. Tetapi desa adat karena wilayahnya berdasarkan “wewengkon” Tri Kahyangan, bisa jadi ada wilayahnya berbeda kecamatan. Istilah yang dipakai “saling seluk”. Artinya wilayah teritorial desa adat dengan desa dinas tidak sama, karena persyaratannya yang berbeda.

Anggotanya (warga) juga berbeda. Di desa adat penduduk pendatang yang bukan beragama Hindu – karena adanya kewajiban mengempon Tri Kahyangan – tidak dimasukkan warga desa adat. Bahkan pendatang yang beragama Hindu tidak harus menjadi warga desa adat. Tetapi warga yang tinggal di kawasan desa dinas, apapun agamanya, haruslah terdaftar sebagai penduduk.

Anak saya bertahun-tahun tinggal di Pedungan, Denpasar, tak terdaftar sebagai warga desa adat, karena dia tak “memuja” di Pura Puseh Pedungan. Dia tetap warga desa adat Pujungan, Tabanan, karena di sana Tri Kahyangan yang dipuja. Tetapi administrasi kependudukan semuanya dari Pedungan, bukan dari Pujungan. Kalau ada kerja bhakti membersihkan got dia datang, tetapi kerja bhakti di pura Pedungan tentu tak datang.

Ada yang menganalogikan begini: desa adat itu berurusan dengan niskala, desa dinas berurusan dengan skala. Meski tidak tepat benar tetapi masuk akal, karena kenyataan yang terlihat desa adat berurusan erat dengan masalah keagamaan (niskala), sedangkan desa dinas berurusan dengan administrasi kependudukan dan pembangunan wilayah desa (skala).
Desa adat seperti halnya desa sejenis di luar Bali dengan berbagai sebutan, eksistensinya tak akan hilang dengan lahirnya UU Desa. Karena keberadaan desa adat diatur dalam konstitusi (UUD 1945 termasuk dengan amandemennya), sementara desa dinas mulai ditata dengan undang-undang yang dibawah konstitusi. Saya tak paham dari siapa awalnya muncul agar ada pilihan untuk didaftar, apakah desa dinas atau desa adat, untuk menyambut “kucuran dana” APBN sesuai UU Desa itu. Di luar Bali tak ada kewajiban untuk mendaftar karena otomatis yang dimaksudkan dengan desa dalam UU Desa ini adalah desa yang sudah berjalan sesuai tata kelola pemerintahan ini, yakni desa dinas.

Coba bayangkan kemudian jika desa adat didaftar sesuai UU Desa dan katakan saja misalnya diterima oleh pusat (Kemendagri). Bendesa Adat yang selama ini mengurusi masalah ritual di Tri Kahyangan berserta awig-awig yang menyangkut kehidupan sosial religius, tiba-tiba harus tahu seluk-beluk anggaran. Lalu siapa atasannya untuk melaporkan anggaran itu? Camat atau Majelis Alit? Dan di atasnya lagi Majelis Madya atau Bupati? Akan kacau dan tumpang tindih. Saya membayangkan ruwet, selama ini Bendesa Adat tempat umat bertanya apakah kala gotongan atau semut sedulur (sehingga bisa menguburkan jenazah) tiba-tiba harus paham beda mata anggaran untuk perbaikan got dan mata anggaran memperbaiki kakus umum.

Dari sisi filosofi juga berbenturan. UU Desa punya filosofi mensejahtrakan masyarakat. Kucuran dana sebesar itu (dengan mempertimbangan besar kecil penduduk setempat) untuk “kesejahtraan lahir” bukan “kesejahtraan bathin”. Dana semilyar itu untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Jika ekonomi bergerak, masyarakat makmur, otomatis masyarakat bisa mensejahtrakan bathinnya. Bukan dibalik. Jadi, dana itu bukan untuk membangun Pura Puseh dengan batu hitam dari Gunung Agung. Kalau begitu, masyarakat tak tergerak lagi “medana punia” karena toh ada uang dari Jakarta setiap tahun satu milyar. Ini persepsi salah.

Tentu saja boleh dana dari UU Desa untuk kepentingan agama, tetapi itu bukan prioritas utama. Nah, dalam hal wilayah desa dinas dan desa adat berbeda jauh, nanti pasti ada cara untuk mengatur dana itu supaya adil dengan prinsip pengelolaan mata anggaran yang transparan. Kalau seperti di desa saya, desa dinas dan desa adat wilayahnya sama, permasalahan bisa tak besar. Tapi jelas beda sasaran yang dituju. Jangan sampai ada kesan, setelah UU Desa berlaku dan kucuran uang datang, warga tak mau lagi bayar urunan untuk piodalan. Yadnya pun tergantung dana dari Jakarta. Akhirnya yang besar piodalannya, ekonomi masyarakat tetap tak bergerak, warga miskin tetap ada. Mari jangan diganggu desa adat dengan iming-iming kucuran dana melimpah, cukup dana dari pemda saja.

Sumber: Posbali dot com
                                         Kemiskinan – Penanggulangan Kemiskinan – Melawan Pemiskinan – Pengentasan Kemiskinan – TKPKD – Angka Kemiskinan – Data Kemiskinan – Musrenbang – PNPM Mandiri – IKraR – Jamkesmas – Jamkesda – KUR – BSM – BLSM – PKH – Raskin – BPJS

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *