KEMISKINAN DAN JANJI DEMOKRASI

SAPA – MENJELANG 9 Desember, ingar-bingar pemilukada semakin riuh, tekanan dan irama lagu pencitraan semakin nyaring diteriakkan, isunya sama, pengentasan kemiskinan dan kebodohan, kesehatan dan pendidikan gratis untuk rakyat, meski semua tahu muaranya adalah kekuasaan.

Simbol-simbol kejelataan dalam atraksi politik para calon kepala daerah masih menjadi pilihan yel-yel yang dianggap paling seksi. Sense of crisis seolah lebih terasah dan tajam dari kelaziman, berjalan dari kampung ke kampung, dari sudut kota ke sudut kota, tengah malam tak peduli lampu yang sering padam, hingga menjelang subuh datang untuk sekadar salat berjemaah dari masjid ke masjid, menjual kepedulian, kebaikan dan kesalehan.

Ya, penguasa atau calon penguasa idealnya memang harus bicara kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara sebagai suatu keharusan. Namun, rakyat tak boleh lupa, tabiat pertama dan utama penguasa adalah mempertahankan, memperbesar, dan memperkuat kekuasaan yang sudah diraihnya, dengan berbagai cara. Tak perlu membaca Machiavelli untuk memahami hal ini karena pengalaman langsung akan selalu membuktikannya. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sebab itu, sejauh mana kekuasaan itu digunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat jelas tidak dapat dipercayakan begitu saja kepada penguasa, banyak bukti kepala daerah yang dulu mengelus-elus rakyat dengan janji-janji ketika kampanye, kemudian meninggalkan mereka setelah berada di puncak kekuasaan. Ini realisme politik elementer, yang kalau diabaikan, akan membawa kita langsung kembali ke situasi politik ala Orde Baru.

“Kemiskinan adalah kekerasaan dalam bentuk yang paling buruk.” Kalimat itu pernah diucapkan Gandhi. Orang miskin adalah ilustrasi hidup tentang nasib buruk, lihat satu kasus misalnya di Mesuji, 4.000-an pemilih warga Moro-moro hanya disambangi dan didekati ketika ada hajat politik. Tetapi setelahnya jangankan untuk mewujudkan kesejahteraan mereka, dengan dalih mereka berada di tanah terlarang, anak-anak mereka yang masih berusia sekolah dasar pun, “dipaksa” sekolah dengan jarak tempuh lebih dari 13 kilometer, sebuah kebijakan yang hampir sama dengan melarang sekolah. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Dalam risalahnya, Beyond the Crisis: the Development Strategies in Asia, yang diterbitkan Institute of South East Asian Studies (1999), yang kemudian diterjemahkan menjadi Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan oleh penerbit Mizan (2000), Amartya Kumar Sen bicara tentang pentingnya kebebasan. Dengan antusias ia menulis, walau tak ada korelasi yang konklusif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, sejarah menunjukkan kelaparan yang dahsyat tak pernah terjadi di negara merdeka, demokratis, dan memiliki pers yang bebas. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sen menunjukkan betapa pentingnya kebebasan dan hak politik masyarakat. Keduanya dapat mencegah terjadinya petaka politik dan ekonomi yang lebih buruk. Ketika semuanya berjalan lancar, kebebasan dan hak politik mungkin tak terasa memikat. Tetapi, dalam kesulitan sosial dan ekonomi, institusi ekonomi dan politik yang baik menjadi begitu penting.

Sebab itu, pembangunan haruslah dilihat sebagai sebuah proses peningkatan berbagai jenis kebebasan manusia yang secara intrinsik penting bagi dirinya. Kebebasan membutuhkan beragam lembaga yang baik. Dalam konteks ini, kebebasan harus dilihat sebagai tujuan akhir sekaligus instrumen dari pembangunan. Dengan perspektif inilah, awetnya kemiskinan dan tak kunjung terwujudnya kesejahteraan rakyat harus diinterpretasikan. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Ironis, demokrasi tak hadir justru pada saat ia begitu dibutuhkan. Itulah yang menjadi pembenaran Soekarno ketika menyerukan demokrasi terpimpin, bahwa demokrasi liberal ia anggap tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, berupa masyarakat adil dan makmur. Sehingga pada gilirannya, pembangunan ekonomi sulit untuk dimajukan karena setiap pihak selalu sibuk, saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Ketiadaan demokrasi membawa akibat pada absennya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Implikasinya, terbukanya ruang bagi praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), sehingga semakin menambah panjang deretan kepala dearah yang terlibat kasus korupsi.

Jalan Keluar ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Ada beberapa upaya yang harus dilakukan terkait dengan upaya mencegah pengkhianatan terhadap mandat rakyat oleh kepala daerah. Pertama, membangun kekuatan rakyat. Ketika kontrol yang seharusnya bisa dipercayakan kepada legislatif tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya, karena wakil rakyat justru menjadi bagian dari kekuasaan yang memiliki watak dan tabiat buruk, kontrol dan pengawasan harus dikembalikan kepada rakyat. Rakyatlah yang harus mengurus, mengawasi, dan memperjuangkan hak-haknya sendiri. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Kedua, kalau pers bisa memainkan peranannya dengan lebih leluasa tanpa pengekangan oleh kekuasaan, pers dan media elektronik dapat menyumbang banyak kepada kontrol terhadap kekuasaan. Namun, ketika pers juga telah dikuasai oleh penguasa dan pemodal, lagi-lagi rakyat yang harus berjuang dengan memaksimalkan media sosial sebagai kontrol sosial dan kritik terhadap penggunaan kekuasaan, sehingga rakyat harus dilatih dan diajarkan berkampanye memaksimalkan media sosial. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Tabiat kekuasaan yang cenderung korup dan sewenang-wenang harus selalu disikapi dengan, pertama, desakralisasi kekuasaan. Kekuasaan tidak berasal dari sumber-sumber yang gaib, mistik, dan magis, tetapi berasal dari rakyat. Adalah rakyat yang memberikan kekuasaan dan rakyat jugalah yang memungkinkan sebuah kekuasaan dijalankan melalui ketundukannya kepada kekuasaan tersebut. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Kalau kekuasaan berasal dari rakyat dan kalau rakyat kemudian tunduk kepada penguasa yang telah menerima kekuasaan dari mereka, kewajiban penguasa untuk membuktikan dia layak mendapat kepercayaan rakyatnya, dan ketundukan rakyat kepada kekuasaannya mempunyai alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Legitimasi adalah kelayakan sebuah orde politik untuk mendapatkan pengakuan dari rakyatnya, suatu anerkennungswuerdigkeit einer politischen ordnung, begitu kata seorang ahli filsafat politik, Juergen Habermas. ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Kedua, kekuasaan mempunyai tendensi bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat dirinya, melainkan juga memusatkan dirinya. Karena itulah pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan.

Kedua, untuk memperlakukan kekuasaan secara demokratis adalah dengan depaternalisasi kekuasaan. Penguasa jangan lagi dipandang secara paternalistis seakan-akan mempunyai watak kebapakan, tetapi harus dipandang sebagai pengabdi dan pelayan untuk rakyat.

Semua penguasa mempunyai potensi menyalahgunakan kekuasaan yang kalau tidak diawasi dapat berkembang sampai tingkat sewenang-wenang. Mari awasi mereka dalam meraih kekuasaan dan menjalankan kekuasaannya nanti! ENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sumber: Lampost dot co
                    PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *