MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

SAPA – Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan keluarga, bukanlah persoalan yang mudah. Kendala untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam keluarga, lebih banyak mempunyai muatan kualitatif akan senantiasa muncul, baik yang bersumber dari faktor eksternal maupun internal institusi keluarga itu sendiri.

Adanya keterbatasan yang terdapat pada individu anggota keluarga dalam berbagai dimensinya, serta semakin kecilnya akses dan kemampuan untuk menguasai sumberdaya yang ada di lingkungannya, merupakan faktor-faktor yang harus diperhitungkan. Kondisi geografis, sosial dan kultural yang melingkupi kehidupan keluarga di mana keluarga itu tinggal, sangat berpengaruh terhadap penilaiannya mengenai kesejahteraan keluarga.

Istilah kesejahteraan sosial tidak merujuk pada suatu kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya.

Pada umumnya, orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, di lain pihak orang miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya orang kaya. Artinya, kondisi sejahtera dari seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat disesuaikan dengan sudut pandang yang dipakai. Dalam batas ini kesejahteraan sosial sangat sulit untuk didefinisikan. Meski begitu, bukan berarti kesejahteraan sosial tidak dapat didefinisikan.

Kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Konsepsi pertama dari kesejahteraan sosial lebih tepat untuk dicermati dalam kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan keluarga. Inti konsepsi pertama dari kesejahteraan sosial adalah : “kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial”. Dengan demikian, istilah kesejahteraan keluarga sering diartikan sebagai kondisi sejahtera yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala kebutuhan-kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

Diakui atau tidak, upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan keluarga, bukanlah persoalan yang mudah. Kendala-kendala untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam keluarga, lebih banyak mempunyai muatan kualitatif akan senantiasa muncul, baik yang bersumber dari faktor eksternal maupun internal institusi keluarga itu sendiri.

Adanya keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada individu anggota keluarga dalam berbagai dimensinya, serta semakin kecilnya akses dan kemampuan untuk menguasai sumber daya yang ada di lingkungannya, merupakan faktor-faktor yang harus diperhitungkan. Kondisi geografis, sosial dan kultural yang melingkupi kehidupan keluarga di mana keluarga itu tinggal, sangat berpengaruh terhadap penilaiannya mengenai kesejahteraan keluarga. Di sisi lain, fenomena kesejahteraan keluarga sesungguhnya merupakan realitas sosio-budaya yang penuh makna dan simbol serta menyangkut pola perilaku. Oleh karena itu, perlu pendekatan mikro obyektif untuk dapat memahami konsepsi kesejahteraan keluarga menurut masyarakat lokal (masyarakat perkotaan).

Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non-material yang diterima oleh seseorang. Namun demikian, secara luas kemiskinan juga kerap didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan : kekurangan pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Definisi kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar seperti diterapkan oleh Departemen Sosial, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya.

Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu :

(a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat;
(b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia; dan,
(c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dalam konteks politik ini, Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi :

(a) modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan);

(b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit);
(c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, organisasi sosial);
(d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa;
(e) pengetahuan dan ketrampilan; dan,
(f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto et.al., 2004).

Seperti juga apa yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (1980), yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya.

Golongan yang menderita kemiskinan struktural diperkotaan adalah, kaum migran yang bekerja di sektor informal dengan hasil yang tidak menentu sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah, kaum buruh, pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, pedagang asongan, dan lain-lain yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labour). Golongan miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah – yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi lemah. Golongan masyarakat miskin kota, umumnya tinggal di rumah-rumah petak atau pemukiman kumuh yang padat, berjejal, dan sebagian besar merupakan pekerja di sektor informal.

Kendati tekanan kemiskinan tidak sekali-dua kali menimpa keluarga miskin perkotaan, tetapi, dalam kenyataan tidak sedikit keluarga miskin tetap survive, dan bahkan keluar dari situasi krisis yang membelenggunya dengan selamat. Dalam hal ini, tak pelak mekanisme survival menjadi sesuatu yang penting. Dalam kehidupannya sehari-hari, keluarga miskin umumnya akan memperkecil atau memperluas lingkaran anggota keluarganya agar dapat memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomi yang berubah. Apabila kebutuhan pangan ternyata pada satu titik tidak dapat terpenuhi secara memadai, maka ada beberapa cara yang dilaksanakan rumah tangga miskin untuk menanggulanginya.

Yang pertama adalah, para anggota keluarga rumah tangga miskin itu menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka. Pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima, kendati bayarannya rendah. Mekanisme survival dan penanggulangan lain yang biasanya dikembangkan keluarga miskin adalah, bekerja lebih banyak dengan lebih sedikit pemasukan. Bila kegiatan ini masih tidak memadai, mereka biasanya akan berpaling ke sistem penunjang yang ada. Sanak saudara – kalau ada di kota -, teman dan tetangga akan menjadi tempat berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga.

Prioritas utama dalam kesejahteraan sosial adalah, kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya keluarga miskin. Di mana dalam kesejahteraan sosial ini, dilakukan berbagai cara dan pelayanan agar keluarga-keluarga miskin dapat meningkatkan kualitas hidupnya menuju pada keluarga sejahtera lahir dan batin, yaitu dengan dapat terpenuhi semua kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Namun, istilah kesejahteraan sosial tidak merujuk pada suatu kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli yang lain.

Pada umumnya, orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, di lain pihak orang yang miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya orang kaya. Artinya, kondisi sejahtera dari seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat disesuaikan dengan sudut pandang yang dipakai.

Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup konsepsi antara lain, yaitu : “Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial”.

Dengan demikian, secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi “sejahtera”, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini, menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan (end) dari suatu kegiatan pembangunan. Misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

Dengan demikian, prioritas utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan.

Mengingat kesejahteraan keluarga sifatnya kondisional, tentu perlu adanya ukuran-ukuran dari keadaan tersebut. Dengan kata lain, ada indikator-indikator minimal yang harus dicapai oleh setiap keluarga.

Jika kesejahteraan merupakam hasil dari proses pembelajaran manusia dalam hidupnya, maka persepsi tentang kesejahteraan tersebut akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya (keluarga, kelompok dan masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan itu sendiri adalah, wujud kebudayaan dan persepsi mengenai kesejahteraan terbentuk melalui proses interaksi sosial dari perwujudan kesejahteraan tersebut.

Sebaliknya, persepsi yang terbentuk tersebut pada akhirnya mempengaruhi perilaku dalam proses perwujudan kesejahteraan. Persepsi kesejahteraan merupakan hasil konstruksi sosial. Perbedaan status sosial budaya dan spesialisasi kerja, akan menghasilkan persepsi kesejahteraan yang berbeda.

Oleh: Yudi Kurnia Korda SAPA Kabupaten Garut

                                                                        Kemiskinan – Penanggulangan Kemiskinan – Melawan Pemiskinan – Pengentasan Kemiskinan – TKPKD – Angka Kemiskinan – Data Kemiskinan – Musrenbang – PNPM Mandiri – Jamkesmas – Jamkesda – KUR – BSM – BLSM – PKH – Raskin

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *