DANA KEISTIMEWAAN DIY UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

SAPA – TAHUN 2012, menjadi babak baru bagi pemerintah daerah DIY, dimana Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) resmi di disyahkan oleh DPRD menjadi Undang-Undang Nomer 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY. Penetapan ini telah memberikan kewenangan istimewa kepada Pemda DIY, diluar kewenangan umum pemerintah yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan istimewa yang dimaksud meliputi 1) Tata cara pengisian jabatan; kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur; 2) Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; 3) Kebudayaan; 4) Pertanahan; dan 5) Tata ruang.

Konsekwensi dari ditetapkannya Undang-Undang ini, yaitu pemberian kewenangan urusan keistimewaan dan alokasi tambahan sumber pendanaan kepada Pemda DIY. Hal ini sesuai dengan prinsip “money follow function”. Berdasarkan hal tersebut, pasal 42 Undang-Undang Keistimewaan telah mengatur bahwa sumber pendanaan untuk kegiatan keistimewaan berasal dari APBN dan APBD.

Tanggal 17 Oktober Tahun 2013, Menteri Keuangan mengeluarkan PMK No. 140/PMK.07/2013 tentang penyaluran Danais, anggaran akan disalurkan sebanyak tiga termin. Pada Tahun 2013, Pemerintah DIY mendapatkan kucuran dana keistimewaan sebesar Rp. 231.392.653.500,- yang masuk dalam dokumen APBD Perubahan. Dari alokasi anggaran sebesar itu, pemerintah DIY hanya mampu merealisasikan anggaran sebesar Rp. 54.563.430.053,-.

Realisasi anggaran Keistimewaan 2013

No

Urusan

Rupiah

Jumlah program

Jumlah Kegiatan

(%) Realisasi

1

Kebudayaan

   212.546.511.000

40

81

22,57

2

Pertanahan

        6.300.000.000

2

4

70,36

3

Kelembagaan

        2.516.142.500

1

4

39,39

4

Tata Ruang

     10.030.000.000

4

13

8,73

 

Total

   231.392.653.500

47

102

23,45

Sumber : Bappeda DIY, 2014

Dari data diatas, menunjukkan bahwa penyerapan anggaran hanya berkisar seperempat dari alokasi dana keistimewaan yang ada. Kecenderungan program mengarah pada kegiatan urusan kebudayaan dapat dilihat pada jumlah kegiatan yang sangat banyak pada urusan ini. Dari hasil analisis Perkumpulan IDEA, program kebudayaan mestinya ditakar untuk mendukung berbagai kearifan lokal warga Yogyakarta. Memaknai keistimewaan secara luas dengan kearifan lokal akan menghilangkan stigma bahwa keistimewaan hanya dimaknai kebudayaan yang artifisial. Contoh di Desa Semoyo, Kabupaten Gunungkidul dimana setiap ada bayi lahir, orang tua wajib menanam satu pohon untuk melestarikan alam. Kearifan lokal yang seperti itulah yang nampaknya perlu dipertimbangkan dilakukan dengan dana keistimewaan.

Apabila dilihat dari serapannya, maka urusan pertanahan menempati prosentase paling tinggi yaitu 70 %. Namun patut dicatat bahwa urusan pertanahan ternyata alokasinya paling sedikit. Persoalan pertanahan di DIY sangat terkait erat dengan keberadaan Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground PAG) yang terletak di DIY yang sampai saat ini masih diakui, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tanah itu tersebar di 4 (empat) kabupaten dan Kota Yogyakarta. SG paling luas berada di Kabupaten Bantul yakni 16,7 juta meter persegi, di Kabupaten Kulonprogo 10,3 juta meter persegi, di Kabupaten Sleman 3 juta meter persegi, dan di Kota Yogyakarta 800 ribu meter persegi. Total luas SG dan PG hanya sekitar 1,2 persen dari luas wilayah DIY. Seiring dengan beragamnya kasus yang berada di wilayah pesisir selatan, mustinya alokasi danais juga mengarah pada penyelesaian permasalahan itu.

Patut disayangnya, serapan terendah ada pada urusan tata ruang. Meski kita ketahui bahwa RTRW DIY sejak tahun 2010 sampai saat ini belum selesai. Namun tetap saja serapan danais untuk urusan tata ruang masih minim. Tidak optimalnya penyerapan anggaran melalui program-program kegiatan tersebut selain terbentur waktu, juga masih dalam masa transisi Dana Keistimewaan pada tahun 2013.

Terdapat 3 factor yang mempengaruhi implementasi dan realisasi anggaran Keistimewaan tahun anggaran 2013. Pertama, dari sisi perangkat Peraturan Perundangan yang digunakan sebagai pijakan untuk pelaksanaan program keistimewaan belum diselesaikan. Sehingga para pelaksana program (SKPD) tidak mempunyai panduan yang memadai untuk pelaksanaan program. Kedua, sisi keselarasan perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan antara Pusat dan Daerah. Dimana transfer alokasi anggaran keistimewaan tahun 2013 ini dilakukan pada saat proses implementasi angaran memasuki akhir tahun anggaran.

Ketiga, ketersediaan waktu yang memadai untuk perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan. Berdasarkan usulan rencana kegiatan yang diajukan oleh Pemda DIY, diketahui bahwa sebagian besar kegiatan keistimewaan membutuhkan waktu dalam pelaksanaanya, sehingga dana keistimewaan menjadi kurang efektif bila tidak dimulai dari awal tahun. Memaksakan pengalokasian dan penyaluran anggaran keistimewaan tahun 2013 merupkan tindakan yang tidak efektif dan tidak sesuai dengan semangat UU No. 13 tahun 2013.

Disisi lain, pemahaman aparatur pemerintah DIY tentang keistimewaan DIY masih belum utuh, sehingga menyebabkan ketidaksiapan SKPD di lingkup Pemerintah Daerah DIY dalam mengimplementasikan anggaran melalui program dan kegiatan yang riil menjawab kebutuhan masyarakat. Di tahun pertama Pemda DIY mengelola Dana keistimewaan, terkesan pelaksanaan program dan kegiatannya masih asal-asalan, hanya untuk mengejar target penyerapan anggaran, masih bersifat ceremonial dan belum menjawab persoalan riil di masyarakat. Meskipun hal tersebut, masih dapat dimaklumi karena Pemda DIY hanya mempunyai waktu sekitar 2 bulan untuk menghabiskan dana keistimewaan yang jumlahnya ratusan milyar.

Jika merujuk pada amanat keistimewaan DIY yang diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketrentaman masyarakat, maka potret implementasi dana keistimewaan tahun 2013 belum mencerminkan upaya kearah tersebut. Hal ini harus menjadi refleksi bagi Pemda DIY dalam menjalankan dana keistimewaan di Tahun 2014.

Pasal 5 undang-undang keistimewaan menyebutkan bahwa amanat Keistimewaan DIY diwujudkan melalui kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pengembangan kemampuan masyarakat. Untuk dapat menjawab kepentingan masyarakat tentunya dalam penyelanggaraan pemerintahannya harus berdasarkan pada asas partisipasi, transparansi dan tentunya akuntabilitas, sehingga masyarakat dapat mengetahui sejauhmana kebijakan dan program yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah DIY.

Merespon Persoalan Kesejahteraan Rakyat

Disaat Pemda DIY menyandang status Daerah Istimewa, terkuak fakta lain yang cukup mengejutkan tentang status Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan provinsi termiskin se-Jawa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2013 persentase penduduk miskin kota dan desa di DIY sebesar 15,03%. Angka tersebut memang turun dari tahun 2012 yang sebelumnya sebesar 16,08 % dan menduduki peringkat 10 besar propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Namun tingkat kemiskinan di DIY tetap menjadi yang terbesar di antara seluruh Provinsi di Jawa.

Bahkan menurut data Kementrian sosial ada lebih dari 37 ribu lansia di DIY masih terlantar, penyandang disabilitas mencapai lebih dari 33 ribu anak, 1.400 lebih terinfeksi virus HIV&AIDS dan lebih dari 1.600 warga melakukan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini tentunya kontradiktif dengan data dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DIY yang menduduki paling atas, usia harapan hidup berada di peringkat kedua. Selain itu, DIY juga menduduki peringkat teratas untuk indeks kebahagian serta peringkat ke dua untuk Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKRAR). Dari data yang ada, tentunya ini menjadi Pekerjaan Rumah yang berat bagi Pemda DIY untuk mengatasi sederet persoalan kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan sumber pendanaan yang ada termasuk dana keistimewaan.

Inisiatif lokal untuk percepatan penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa daerah di wilayah Pemda DIY. Kabupaten Gunungkidul telah melakukan Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) untuk menemukenali si miskin dari kacamata masyarakat. AKP ini disinergikan dengan Sistem Informasi Desa (SID) sebagai system olah data kemiskinan. Selain itu, SID juga menjadi system untuk keterbukaan informasi public dan perbaikan layanan public di desa. Dari sisi prosedur dan system perencanaan penganggaran, Pemkab Gunungkidul mendorong integrasi perencanaan PNPM dengan perencanaan regular serta mengimplementasikan PIWK (Pagu Indikatif Wilayah Kecamatan). Kabupaten Kulonprogo juga telah melakukan Gerakan Bela Beli Kulonprogo serta bedah rumah dan kerjasama dengan CSR untuk percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di Kabupaten Sleman, telah dilakukan optimalisasi Tim Penanggulangan Kemiskinan (TPK) sampai level dusun untuk mengawal program-program dan melakukan validasi data kemiskinan sehingga Sleman memiliki basis data terpadu.

Di level Propinsi, Inovasi atas layanan SMS Gateway yang digagas oleh LOD DIY bekerjasama dengan IDEA – CRI dan Ford Foundation merupakan salah satu terobosan untuk mendapatkan feed back dari masyarakat atas potret layanan public di DIY. Layanan SMS Gateway ini diluncurkan pada awal tahun 2013 oleh Wakil Gubernur DIY, baru satu bulan dilaunching aduan yang masuk sudah 900 aduan mulai dari layanan public di sector kesehatan, pendidikan dan beberapa layanan lainnya.

Disisi perencanaan, Pemda DIY melalui Bappeda meluncurkan web jogjaplan yang menampilkan informasi lengkap seputar proses perencanaan penganggaran selain itu ada layanan dimana masyarakat bisa mengusulkan usulan program dan kegiatan kepada SKPD yang dituju. Hal ini juga menjadi salah satu terobosan menarik yang diambil oleh Pemda DIY untuk membuka ruang atas akses, partisipasi, control dan manfaat bagi masyarakat terlibat dalam perencanaan penganggaran daerah.

Beberapa inisiatif kebijakan yang telah dilakukan oleh Kabupaten/Kota bahkan dilevel Provinsi merupakan sebuah terobosan inovatif yang juga harus direspon dan dilajutkan melalui alokasi Danais. Data inisiatif lokal yang tersaji diatas harusnya menjadi salah satu bagian dari program dalam urusan kebudayaan dan kelembagaan, seperti analisis kemiskinan partisipastif, layanan sms gateway dan beberapa inovasi lainnya.

Tahun 2014 ini, Pagu anggaran keistimewaan telah ditetapkan sebesar Rp. 523.874.719.000,- yang akan segera direalisasikan. Mengacu pada beberapa persoalan diatas maka, anggaran keistimewaan DIY diharapkan dapat diarahkan untuk mengatasi persoalan tersebut. Memastikan anggaran tersebut menjawab akar persoalan kemiskinan adalah salah satu upaya untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Belajar dari pengalaman yang terjadi pada tahun 2013, dimana masyarakat belum terlibat dalam perumusan kebijakan dan program yang didanai dengan dana keistimewaan maka ditahun ini ruang atas akses dan partispasi bagi seluruh stakeholder menjadi suatu keharusan.

Selain itu, harus dilakukan perbaikan atas mekanisme proses perencanaan penganggaran yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif. Selain berpartisipasi, masyarakat juga harus mendapatkan akses atas informasi dan kebijakan public. Dengan begitu, masyarakat dapat terlibat dalam perencanaan dan melakukan control atau monitoring atas pelaksanaan kebijakan dan program keistimewaan DIY. Sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari keistimewaan DIY.

Satu hal yang juga menjadi catatan adalah adanya surat dari KPK tertanggal 6 Januari 2014. Surat bernomor B-14/01/-15/01/2014 perihal Himbauan terkait Dana Bansos dan Hibah APBD, Gubernur berkewajiban meneruskan himbauan tersebut. Himbauan tersebut berlatar belakang dari hasil kajian KPK bahwa terdapat hubungan antara kenaikan dana hibah & bansos dengan PILKADA. Kedepan, hal ini yang juga harus dikawal oleh masyarakat DIY, jangan sampai anggaran keistimewaan DIY hanya diarahkan pada pos Bansos untuk menyikapi PILPRES 2014.

Oleh: Triwahyuni Suci Wulandari Korda SAPA Kabupaten Gunungkidul
                                        Penanggulangan Kemiskinan – Melawan Pemiskinan – Pengentasan Kemiskinan – TKPK – Angka Kemiskinan – IKraR – Pemberdayaan Masyarakat – PNPM Mandiri – Undang undang desa 

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *