End Poverty Agenda dan Ilusi MDG”s

MDGs merupakan komitmen bersama negara-negara maju dan negara berkembang menangani permasalahan utama pembangunan. MDGs dinilai sebagai wujud anti pemiskinan global yang terangkum dalam satu paket berisi delapan tujuan yang ingin dicapai berbagai bangsa hingga tahun 2015.

MDGs dideklarasikan September 2000, disepakati oleh 189 negara dan ditandatangani 147 kepala pemerintahan dan kepala negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB di New York.

Upaya pencapaian target MDG”s sudah berjalan 12 tahun dan menyisakan waktu sekitar tiga tahun saja. Namun masalah kemiskinan ekstrem masih jauh dari harapan.

Berdasarkan Human Settlement Program, PBB melaporkan jumlah penduduk miskin yang tinggal di kota-kota besar seluruh dunia akan lipat dua menjadi dua miliar manusia dalam waktu 30 tahun. Menurut laporan tersebut, satu miliar penduduk tengah hidup berdesakan di kawasan kumuh yang tidak memiliki fasilitas umum dasar seperti air bersih, listrik dan kebersihan.

Saat ini, setidaknya 550 juta orang menghuni daerah kumuh di sepanjang Asia dan 190 juta orang di kawasan Afrika. Bahkan di dunia sekalipun 50 juta penduduknya hidup di kawasan kumuh tersebut. Global Monitoring Report (GMR) juga memprediksikan peningkatan antara 200 ribu-400 ribu pada kematian bayi dan malnutrisi yang menjadi penyebab utama tingkat kematian anak-anak.

Kemiskinan Berkelanjutan

Fokus utama dalam MDGs adalah pembangunan manusia dengan meletakkan dasar pada konsensus dan kemitraan global untuk pembangunan. Diharapkan negara-negara kaya dapat membantu negara-negara miskin dan berkembang baik dalam bidang perdagangan, pembebasan utang dan investasi sehingga mereka dapat melaksanakan tugas pembangunan mereka.

MDGs pun menjadi referensi penting dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara anggotanya. Di Indonesia MDGs dijadikan acuan pembangunan mulai dari tahap perencanaan sesuai Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) sampai tahap implementasi. Bahkan MDGs telah menjadi dasar perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional dan daerah.

Oleh sekretariat dan beberapa agen pembangunan PBB bersama perwakilan berbagai lembaga internasional seperti IMF dan World Bank, ditetapkan delapan tujuan pembangunan milenium dengan 18 target dan 48 indikator untuk mengukur kemajuan target dan tujuan yang telah ditetapkan.

UNDP membantu negara-negara berkembang dalam membuat laporan dan rencana MDGs di tingkat negara. Yang penting dipertanyakan adalah apakah MDGs murni ditujukan untuk pemakmuran global atau justru terdapat konspirasi dunia maju terhadap negara-negara dunia ketiga.

Salah satu agenda MDGs yang sekaligus menjadi poin pertama adalah pengentasan kemiskinan. Targetnya adalah untuk menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar perhari dan mengatasi masalah kelaparan dan gizi buruk.

Namun pada faktanya, jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dolar sehari meningkat dari 1,197 miliar jiwa pada tahun 1987 menjadi 1,214 miliar jiwa pada tahun 1997.

Sementara 1,6 miliar jiwa penduduk dunia lainnya hidup antara 1-2 dolar per hari. Oleh sebab itulah, 826 juta manusia dewasa ini menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius.

200 juta di antaranya adalah anak-anak yang mengalami malnutrisi. Padahal sebenarnya dunia mampu menyediakan pangan untuk 12 miliar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikitpun.

Kegagalan pencapaian misi MDGs ini bukan karena kesalahan teknis atau ketidakseriusan dunia internasional. Namun disebabkan oleh kebijakan sistem yang memang tidak mengarah pada perbaikan dan pemakmuran global.

Terkait misi membangun kemitraan global, MNC-MNC berebut masuk ke negara-negara dunia ketiga yang notabene kaya alam dan pangsa pasar; termasuk penghilangan hambatan perdagangan internasional yang cenderung menaikkan harga impor seperti tarif-cukai dan kuota sehingga negara-negara maju dapat menyalurkan produknya ke negara miskin dengan harga yang relatif murah.

Bagi negara-negara yang mengalami kesulitan pendanaan, lembaga-lembaga keuangan internaional dan kelompok negara kreditur (Klub Paris) ikut membantu pembiayaan program-program pembangunan.

Namun kehadiran IMF, misalnya justru semakin memperparah kondisi perekonomian. Globalizing Poverty 2000 melaporkan 41 negara miskin yang paling banyak berutang, utang luar negerinya meningkat dari 55 miliar dolar pada tahun 1980 menjadi 215 miliar dolar pada tahun 1995.

Saat ini pemerintah negara-negara Afrika menanggung utang sebesar 350 miliar dollar sehingga mereka memotong 2/5 penghasilan untuk membayar utang. Akibatnya, pemerintah mengurangi pembiayaan jasa untuk rakyat. Atas dasar itu, Jubilee 2000 mengatakan bahwa di 40 negara paling miskin setiap 1 menit 13 anak mati. Belum lagi kesepakatan penguasaan sumber alam dan BUMN untuk negara kreditur agar kucuran dana turun. Di Afrika Selatan misalnya, privatisasi air memaksa orang-orang miskin menggunakan air sungai tercemar sehingga menyebabkan wabah kolera.

MDG”s tidak pernah menggugat penjajahan ekonomi negara-negara maju dan tidak juga membahas sisi fundamental kerusakan ekonomi kapitalisme yang menjadi penyebab krisis pangan, krisis energi serta krisis ekonomi dan keuangan. MDG”s hanya berisi seruan dan komitmen belaka dengan slogannya “we can end poverty by 2015”. Namun kita lihat di tiga tahun terakhir masa targetnya, kemiskinan justru terawat dengan baik sehingga menyebar kesegala arah.

Dalam misi MDGs kedua, kepentingan negara maju juga mudah dideteksi. Peningkatan pendidikan tidak ditujukan untuk peningkatan kualitas manusia tetapi demi mendapatkan high quality labour with lower cost.

Ini diamini oleh jajak pendapat yang dilakukan Wall Street Journal yang mengungkap bahwa mayoritas perusahaan di AS akan menggunakan NAFTA untuk menekan gaji dan upah karyawan/buruh. Selain itu, dengan meningkatnya taraf pendidikan kebutuhan produk-produk teknologi tinggi juga akan meningkat. Maka terbukalah pangsa pasar produk high tech bagi negara maju. Di Indonesia, monopoli Microsoft dan konsumsi tinggi telepon selular menjelaskan fenomena tersebut. Ini mirip dengan politik etis ala Belanda.

Target memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya juga terancam gagal. Di Indonesia saja hingga saat ini kasus HIV/AIDS masih tinggi yang menurut estimasi Departemen Kesehatan 2009 mencapai sekitar 277.000 orang. Angka ini diperkirakan akan naik menjadi 501.000 pada 2014 seiring dengan terjadinya kasus baru. Setiap tahun terjadi peningkatan sekitar 50.000 kasus baru yang terinfeksi HIV.

Kegagalan tersebut karena penanggulangan HIV/AIDS selama ini lebih difokuskan pada hilir yakni bagaimana mencegah orang yang terinfeksi HIV tidak menjadi AIDS. Padahal yang juga mesti dilakukan adalah perang terhadap narkoba, free sex, penggunaan ATM kondom dan industri-industri pendukungnya. Pada faktanya, justru faktor-faktor tersebut dilindungi negara.

Dari sisi bisnis, program peningkatan kesehatan akan meningkatkan penjualan produk-produk kesehatan buatan negara maju.

Begitu pula dengan poin-poin lain dalam MDGs yang tidak terlepas dari konspirasi dan kepentingan negara maju. Sebanyak apapun upaya yang dilakukan bila sistem memang tidak mengarah paa kemakmuran global tentu akan sia-sia.

Seorang analis menganalogikan program MDGs seperti program penggemukan sapi potong. Analoginya: seekor sapi kurus dimasukkan ke dalam program penggemukan agar lebih banyak menghasilkan daging. Negara-negara miskin disejahterakan agar menjadi sumber kekayaan bagi negara maju.(Oleh: Fitria Osin)

Sumber : medanbisnisdaily dot com

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *